Hai! Apa kabar Sobat semua? Saya yakin Anda sehat. Jika tidak, smoga Sobat lekas sembuh dari penyakitnya? Kali ini kita akan membuka tema tentang BURUH PERKEBUNAN RENTAN ALAMI KECELAKAAN KERJA."BURUH PERKEBUNAN RENTAN ALAMI KECELAKAAN KERJA
�Pak Sio (56 tahun) yang sebentar lagi akan memasuki pensiun dengan masa kerja 18 tahun di PT Lonsum Langkat tepatnya di Turangi Estate. Kini Pak Sio tidak lagi bekerja sebagai pemanen tetapi ditugaskan sebagai pekerja khusus untuk mencangkol jalan dan selokan. Selain karena usianya yang sudah uzur, juga disebabkan kecelakaan kerja yang pernah dialaminya 5 tahun yang lalu tepatnya tahun 2003, yang menyebabkan terganggunya penglihatan Pak Sio.
Ketika bekerja Pak Sio tidak pernah memakai pelindung kerja yang lengkap, hanya sepatu boot yang diberikan pihak perusahaan. Diakui olehnya selain sepatu boot, perusahaan juga memberikan kacamata. Tetapi karena kacamata yang diberikan tidak sesuai untuk dipakai kerja dan malah memperlambat proses kerja karena selalu saja ada butiran embun yang mengumpul di lensa, gampang berair yang mengaburkan pandangan, sementara target kerja harus dipenuhi. Alat atau benda yang menyebabkan kecelakaan adalah daun pelepah sawit dan kotoran berondolan. Sejak pagi bekerja sampai wolon (istirahat) kondisinya baik-baik saja.
Sesudah wolon beberapa jam berikutnya, Pak Sio memotong daun pelepah terlebih dahulu yang bisa mengganggu pemotongan buah sawit. Ketika daun pelepah dipotong, pak Sio mengambil jarak yang aman dari posisi jatuhnya pelepah. Ketika mengambil jarak, beliau tidak sadar dibelakangnya ada lobang yang akhirnya membuat kaki dan badannya terjatuh. Pada saat jatuh terlentang itulah daun pelepah tadi menimpa dan mengenai pelipis mata sebelah kanan hingga mengeluarkan darah.
Setelah itu beliau melapor mandor dan langsung ke klinik. Petugas klinik kemudian menjahit pelipis matanya yang robek. Setelah itu disuruh berobat jalan dengan metode kontrol selama seminggu. Setelah seminggu perawat bagian klinik membuka jahitan dan tidak pernah lagi mengontrolnya. Ketika Pak Sio merasakan ada kekaburan penglihatan, beliau kembali lagi mengontrol ke klinik tetapi respon perawat menyatakan tidak apa-apa lagi yang terjadi di matanya. Sementara keluhan kekaburan penglihatan tidak ditanggapi, akhirnya Pak Sio kesal sampai obat yang diberikan perawat ditolak karena dirasa tidak ada mamfaatnya�. (Hasil Investigasi KPS, 16 Maret 2008)
Kisah diatas hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah kecelakaan kerja yang setiap saat mengancam buruh akibat kurangnya perhatian terhadap pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Fasilitas K3 adalah hak bagi buruh, sama seperti upah yang layak dan hak normative lainnya! Namun pada realitasnya K3 belum mendapat perhatian dari pihak perusahaan. Banyak perusahaan yang beranggapan bahwa memenuhi kewajiban K3 bagi buruh hanyalah menambah biaya produksi.
Penyebab utama kecelakaan kerja diperkebunan antara lain, lingkungan kerja yang tidak aman (tempat kerja /ancak) yang tidak rata, berlobang, dan licin, tanaman yang terlalu tinggi, semak yang terlalu lebat), kelalaian buruh, kekurangterampilan, peralatan K3 yang tidak tersedia atau tidak memenuhi standart keselamatan dan kesehatan kerja bagi buruh, serta tidak adanya pengawasan kerja yang baik oleh pihak perusahaan ketika buruh bekerja. Perusahaan mengabaikan tanggung jawab K-3 dengan tidak mensosialisasikan mengenai pentingnya keselamatan kerja, upah yang rendah sehingga memacu buruh mengejar premi (bonus) sehingga mengabaikan aspek keselamatan kerja, dan target kerja (beban kerja) tinggi yang tidak diimbangi pola makan (gizi) yang cukup.
Bukan hal yang sulit menemukan buruh yang cacat diperkebunan. Mulai dari mata buta akibat terkena zat kimia berbahaya akibat tidak tersedianya kaca mata (pelindung mata) sewaktu bekerja. Tangan atau kaki puntung, penyakit kulit, keguguran kandungan, atau bahkan meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.
Memang nasib buruh sungguh menyedihkan. Khususnya buruh perkebunan, jangankan untuk mengharapkan kebaikan hati pihak perusahaan untuk menyediakan fasilitas K-3, untuk alat kerja saja, seperti parang, egrek (alat untuk memanen), cangkul dan alat kerja lainnya, si buruh harus menyediakannya sendiri. Konon lagi fasilitas K3. Banyak buruh yang bekerja tanpa peralatan K3 sama sekali. Bahkan tanpa alas kaki. Padahal tanaman sawit adalah jenis tumbuhan berduri.
Pihak perusahaan banyak yang tidak menyediakan P3K/ pertolongan pertama bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja di ancak (tempatnya bekerja). Si buruh harus ke poliklinik yang cukup jauh jaraknya dari tempatnya bekerja hanya untuk mendapatkan obat merah atau perban (pembalut) luka. Suatu hal yang sangat menyayat hati di tengah limpahan dolar yang terkucur dari keringat si buruh.
Tidak mudah bagi buruh untuk mengakses pelayanan kesehatan. Birokrasi yang panjang dan bertele-tele membuat buruh enggan untuk berobat diklinik perusahaan dan memilih untuk berobat ditempat lain yang cepat memberikan pelayanan kesehatan meskipun harus mengeluarkan biaya sendiri.
Nasib buruh perkebunan ibarat pribahasa �sudah jatuh tertimpa tangga pula� dari setiap kesempatan pihak perusahaan akan selalu mencari akal untuk meraup keuntungan dan menindas buruh. Iuran jamsostek yang harusnya hanya sebesar 2 % dari upah buruh sesuai dengan Undang-undang, pada kenyataannya si buruh bisa membayar lebih dari 2 % dari upahnya. Padahal tidak semua program wajib yang disediakan oleh jamsstek dapat dinikmati oleh buruh. Buruh sering mendapat penolakan dari klinik, rumah sakit atau penyedia pelayanan kesehatan, maupun perusahaan ketika buruh berobat.
Dibalik rimbun dan hijaunya perkebunan, banyak kisah yang memilukan yang terjadi didalamnya. Yang tidak terekspos dan diketahui oleh orang banyak dikarenakan letak mereka yang terisolir dan terasing dari dunia luar."
Source : http://buruanbergerak.blogspot.com/2010/02/buruh-perkebunan-rentan-alami.html
�Pak Sio (56 tahun) yang sebentar lagi akan memasuki pensiun dengan masa kerja 18 tahun di PT Lonsum Langkat tepatnya di Turangi Estate. Kini Pak Sio tidak lagi bekerja sebagai pemanen tetapi ditugaskan sebagai pekerja khusus untuk mencangkol jalan dan selokan. Selain karena usianya yang sudah uzur, juga disebabkan kecelakaan kerja yang pernah dialaminya 5 tahun yang lalu tepatnya tahun 2003, yang menyebabkan terganggunya penglihatan Pak Sio.
Ketika bekerja Pak Sio tidak pernah memakai pelindung kerja yang lengkap, hanya sepatu boot yang diberikan pihak perusahaan. Diakui olehnya selain sepatu boot, perusahaan juga memberikan kacamata. Tetapi karena kacamata yang diberikan tidak sesuai untuk dipakai kerja dan malah memperlambat proses kerja karena selalu saja ada butiran embun yang mengumpul di lensa, gampang berair yang mengaburkan pandangan, sementara target kerja harus dipenuhi. Alat atau benda yang menyebabkan kecelakaan adalah daun pelepah sawit dan kotoran berondolan. Sejak pagi bekerja sampai wolon (istirahat) kondisinya baik-baik saja.
Sesudah wolon beberapa jam berikutnya, Pak Sio memotong daun pelepah terlebih dahulu yang bisa mengganggu pemotongan buah sawit. Ketika daun pelepah dipotong, pak Sio mengambil jarak yang aman dari posisi jatuhnya pelepah. Ketika mengambil jarak, beliau tidak sadar dibelakangnya ada lobang yang akhirnya membuat kaki dan badannya terjatuh. Pada saat jatuh terlentang itulah daun pelepah tadi menimpa dan mengenai pelipis mata sebelah kanan hingga mengeluarkan darah.
Setelah itu beliau melapor mandor dan langsung ke klinik. Petugas klinik kemudian menjahit pelipis matanya yang robek. Setelah itu disuruh berobat jalan dengan metode kontrol selama seminggu. Setelah seminggu perawat bagian klinik membuka jahitan dan tidak pernah lagi mengontrolnya. Ketika Pak Sio merasakan ada kekaburan penglihatan, beliau kembali lagi mengontrol ke klinik tetapi respon perawat menyatakan tidak apa-apa lagi yang terjadi di matanya. Sementara keluhan kekaburan penglihatan tidak ditanggapi, akhirnya Pak Sio kesal sampai obat yang diberikan perawat ditolak karena dirasa tidak ada mamfaatnya�. (Hasil Investigasi KPS, 16 Maret 2008)
Kisah diatas hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah kecelakaan kerja yang setiap saat mengancam buruh akibat kurangnya perhatian terhadap pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Fasilitas K3 adalah hak bagi buruh, sama seperti upah yang layak dan hak normative lainnya! Namun pada realitasnya K3 belum mendapat perhatian dari pihak perusahaan. Banyak perusahaan yang beranggapan bahwa memenuhi kewajiban K3 bagi buruh hanyalah menambah biaya produksi.
Penyebab utama kecelakaan kerja diperkebunan antara lain, lingkungan kerja yang tidak aman (tempat kerja /ancak) yang tidak rata, berlobang, dan licin, tanaman yang terlalu tinggi, semak yang terlalu lebat), kelalaian buruh, kekurangterampilan, peralatan K3 yang tidak tersedia atau tidak memenuhi standart keselamatan dan kesehatan kerja bagi buruh, serta tidak adanya pengawasan kerja yang baik oleh pihak perusahaan ketika buruh bekerja. Perusahaan mengabaikan tanggung jawab K-3 dengan tidak mensosialisasikan mengenai pentingnya keselamatan kerja, upah yang rendah sehingga memacu buruh mengejar premi (bonus) sehingga mengabaikan aspek keselamatan kerja, dan target kerja (beban kerja) tinggi yang tidak diimbangi pola makan (gizi) yang cukup.
Bukan hal yang sulit menemukan buruh yang cacat diperkebunan. Mulai dari mata buta akibat terkena zat kimia berbahaya akibat tidak tersedianya kaca mata (pelindung mata) sewaktu bekerja. Tangan atau kaki puntung, penyakit kulit, keguguran kandungan, atau bahkan meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.
Memang nasib buruh sungguh menyedihkan. Khususnya buruh perkebunan, jangankan untuk mengharapkan kebaikan hati pihak perusahaan untuk menyediakan fasilitas K-3, untuk alat kerja saja, seperti parang, egrek (alat untuk memanen), cangkul dan alat kerja lainnya, si buruh harus menyediakannya sendiri. Konon lagi fasilitas K3. Banyak buruh yang bekerja tanpa peralatan K3 sama sekali. Bahkan tanpa alas kaki. Padahal tanaman sawit adalah jenis tumbuhan berduri.
Pihak perusahaan banyak yang tidak menyediakan P3K/ pertolongan pertama bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja di ancak (tempatnya bekerja). Si buruh harus ke poliklinik yang cukup jauh jaraknya dari tempatnya bekerja hanya untuk mendapatkan obat merah atau perban (pembalut) luka. Suatu hal yang sangat menyayat hati di tengah limpahan dolar yang terkucur dari keringat si buruh.
Tidak mudah bagi buruh untuk mengakses pelayanan kesehatan. Birokrasi yang panjang dan bertele-tele membuat buruh enggan untuk berobat diklinik perusahaan dan memilih untuk berobat ditempat lain yang cepat memberikan pelayanan kesehatan meskipun harus mengeluarkan biaya sendiri.
Nasib buruh perkebunan ibarat pribahasa �sudah jatuh tertimpa tangga pula� dari setiap kesempatan pihak perusahaan akan selalu mencari akal untuk meraup keuntungan dan menindas buruh. Iuran jamsostek yang harusnya hanya sebesar 2 % dari upah buruh sesuai dengan Undang-undang, pada kenyataannya si buruh bisa membayar lebih dari 2 % dari upahnya. Padahal tidak semua program wajib yang disediakan oleh jamsstek dapat dinikmati oleh buruh. Buruh sering mendapat penolakan dari klinik, rumah sakit atau penyedia pelayanan kesehatan, maupun perusahaan ketika buruh berobat.
Dibalik rimbun dan hijaunya perkebunan, banyak kisah yang memilukan yang terjadi didalamnya. Yang tidak terekspos dan diketahui oleh orang banyak dikarenakan letak mereka yang terisolir dan terasing dari dunia luar."
Source : http://buruanbergerak.blogspot.com/2010/02/buruh-perkebunan-rentan-alami.html
         Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai BURUH PERKEBUNAN RENTAN ALAMI KECELAKAAN KERJA yang menjadi bahasan kita kali ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan saya dan banyak berharap kepada para pembaca yang budiman untuk memberikan kritik saran kepada saya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan para pembaca. Aamiin !
0 Komentar untuk "BURUH PERKEBUNAN RENTAN ALAMI KECELAKAAN KERJA"